Jelaskan Konsep Baitul Mal wa Tampil?

A. KONSEP BAITUL MAAL WA TAMWIL

Baitul Maal wa Tamwil

1. Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia mulai dikenal masyarakat sebagai sebuah Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Tidak salah kalau kemudian masyarakat Indonesia lebih mengenal "BMT" sebagai "Bank Mikro Syariah" yang beroperasi di sekitar lingkungan masyarakat, seperti di pasar-pasar, kawasan pedesaan, pinggiran kota atau bahkan ada yang berkantor di sebuah masjid. Penulis tidak bermaksud untuk menyatakan hal tersebut salah, namun sebenarnya Baitul Maal wa Tamwil itu adalah konsep Industri Perbankan Syariah yang menekankan adanya konsentrasi usaha perbankan yang tidak hanya mengelola unit bisnis saja, namun juga mengelola unit sosial yang memiliki fungsi intermediary unit antara pihak yang kelebihan dana dan pihak

yang kekurangan dana. Azis, Amin (2004:1) menjelaskan tentang konsepsi Baitul Maal wa Tamwil sebagai lembaga keuangan yang didirikan dengan landasan ekonomi yang salaam: keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan.. Lebih
lanjut, Azis, Amin (2004:1) menjelaskan bahwa Baitul Maal wa Tamwil memiliki dua fungsi, yaitu

a. Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta), yaitu menerima titipan dana zakat, infaq, dan shodaqoh serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

b. Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil = Pengembangan Harta), yaitu melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonominya. Dalam menjalankan usahanya, Baitut Tamwil menggunakan akad-akad (perjanjian) transaksi bisnis yang berbasis syariah, seperti model jual beli (Murabahah, Salam, dan Istishna), bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah) maupun sewa (Ijarah).

Dari penjelasan singkat dua fungsi Baitul Maal wa Tamwil tersebut jelas bahwa Perbankan Syariah berbeda dengan perbankan konvensional yang hanya menjalankan proses bisnis saja. Perbankan Syariah perlu merumuskan nilai-nilai sosial dalam menjalankan kegiatan operasionalnya karena dewasa ini banyak praktik perbankan konvensional yang kurang memperhatikan nilai-nilai sosial dalam menjalankan kegiatannya. Penegasan fungsi Perbankan Syariah sebagai penyedia layanan bisnis profesional dan layanan sosial memberikan sebuah kekuatan spiritual kepada para pengelola Perbankan Syariah untuk selalu mengingat adanya hak orang lain yang harus ditunaikan melalui zakat, infaq, dan shodaqoh.

Namun demikian, dalam praktik Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah, fungsi Baitul Maal yang diamanahkan dalam penjelasan di atas belum berfungsi dengan baik. Lembaga Keuangan Syariah tersebut masih berkonsentrasi untuk mengembangkan Baitut Tamwil. Hal ini bisa dimaklumi mengingat dalam menjalankan kedua fungsi tersebut tidaklah mudah. Mengurus Baitut Tamwil saja sudah merupakan sebuah pekerjaan yang luar biasa berat ketika mereka harus mengenalkan produk dan jasa berbasis Syariah kepada masyarakat dan juga bersaing dengan lembaga keuangan konvensional yang lebih dahulu berkembang di Indonesia sehingga dalam perkembangannya Baitul Maal ini akhirnya dikembangkan di Indonesia melalui Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang tidak mampu mengelola Baitul Maal dengan baik biasanya
2.6

akan bekerja sama dengan Organisasi Pengelola Zakat dalam penyaluran

dananya kepada para Mustahig. Pada bagian ini akan terlebih dahulu dijelaskan mengenai konsep operasional Baitul Maal wa Tamwil, namun lebih mengeksplorasi fungsi Baitul Tamwil, sedangkan Baitul Maal akan dijelaskan lebih rinci pada bagian Organisasi Pengelola Zakat.

2. Konsep Operasional Baitut Tamwil

Pada bagian pembukaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh AAOIFI pernah menjelaskan bahwa fungsi dari Perbankan Syariah adalah sebagai manajer investasi, investor, dan penyedia jasa layanan perbankan lainnya. Dalam kegiatan operasionalnya pun tidak lepas dari upaya untuk melaksanakan penghimpunan dana, pengelolaan dana, dan penyaluran dana ke sektor-sektor investasi yang menguntungkan melalui produk-produk pembiayaan.

Di Indonesia, kegiatan Baitut Tamwil ini dapat dijalankan oleh Industri Perbankan Syariah maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Kedua jenis lembaga keuangan ini pada prinsipnya memiliki kesamaan konsep operasional. perbedaan terletak pada bentuk badan hukum serta konsekuensi yang mengikutinya sebagai badan hukum.

Industri Perbankan Syariah diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia sebaga otoritas yang berwenang untuk mengatur dan melaksanakan fungsi pengawasan bagi perbankan nasional baik yang menjalankan kegiatan secara konvensional maupun berdasarkan prinsip Syariah. Perbankan di Indonesia diatur dengan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 1992 menyebutkan bahwa menurut jenisnya, bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat Dalam konteks Perbankan Syariah, bank yang masuk kategori ini adalah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah, dan Bank Perkreditan Rakya Syariah (BPRS).

Sementara itu, Lembaga Keuangan Mikro Syariah merupakan lembag keuangan yang kegiatan operasionalnya berdasarkan prinsip Syariah, namu bukan bank. Di masyarakat lebih dikenal sebagai BMT atau Koperasi Syariah BMT yang berkembang di Indonesia ada yang berbentuk koperasi, namun ad juga yang berbentuk yayasan. Saat ini yang lebih banyak berkembang adala BMT dengan badan hukum koperasi karena Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) telah mengeluarkan SK Menteri Koperasi dan UKM Nomor: 91/Kep/M.UKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah.

Dengan adanya SK tersebut, koperasi yang ingin menjalankan kegiatan operasional dengan prinsip Syariah dapat memilih bentuk badan hukumnya apakah berbentuk Koperasi Simpan Pinjam berdasarkan prinsip Syariah dengan bentuk (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) atau Koperasi Serba Usaha yang Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS).

Konsekuensi bentuk badan hukum Industri Perbankan Syariah maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah akan dijelaskan setelah penjelasan konsep operasional Baitut Tamwil berikut. Gambar 2.1. memberikan gambaran alur operasional Baitut Tamwil.
Berdasarkan Gambar 2.1. di atas, tampak bahwa kegiatan Baitut Tamwil dimulai dengan melakukan penghimpunan dana. Ada kesamaan sumber dana yang diperoleh baik Perbankan Syariah maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), yaitu
a. Wadiah Wadiah atau Al Wadiah dari segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari sisi teknik operasional, Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja dikehendaki oleh pihak yang menitipkan barang (Sudarsono, 2003: 75).

Konsekuensinya, titipan merupakan jasa perbankan ketika pihak yang dititipi barang berhak untuk meminta fee atas jasa titipan tersebut. Dalam praktiknya terdapat dua jenis titipan (Wadiah, yaitu Wadiah Yad Amanah dan Wadiah Yad Dhamanah. 1) Wadiah Yad Amanah

Wadiah Yad Amanah merupakan akad titipan ketika pihak yang menitipkan barang tidak memperkenankan pihak yang dititipi barang untuk menggunakan barang yang dititipkan. Pihak yang dititipi berhak mendapatkan fee atas jasa yang diberikan. Dalam praktik Perbankan Syariah, jasa ini dapat diwujudkan dalam bentuk safe deposit box atau giro ketika pihak Perbankan Syariah tidak diperkenankan menggunakan barang atau dana yang dititipkan dengan leluasa.

2) Wadiah Yad Dhamanah

Wadiah Yad Dhamanah merupakan akad titipan ketika pihak yang menitipkan barang memberikan kewenangan dan kesempatan kepada pihak yang dititipi barang untuk menggunakan barang atau dana yang dititipkan untuk tujuan tertentu yang menguntungkan dengan batasan pada saat pihak yang menitipkan barang atau dana membutuhkannya maka pihak yang dititipi harus bisa menyerahkan secara utuh. Pihak yang dititipi barang tetap berhak atas fee dan jasa yang diberikan dan jika dimungkinkan memberikan bonus kepada pihak yang menitipkan barang atas keuntungan yang diperoleh atas penggunaan barang atau dana yang dititipkan. Hal yang perlu diingat bahwa bonus tidak diperbolehkan untuk diperjanjikan dalam akad. Dalam praktik Perbankan Syariah atau Lembaga Keuangan Mikro Syariah, produk ini sering digunakan sebagai salah satu cara untuk menghimpun dana baik dalam bentuk tabungan, deposito maupun giro. b.

Mudharabah

Mudharabah merupakan akad kerja sama antara Shahibul Maal dan Mudharib (Perbankan Syariah/LKMS) ketika Shahibul Maal sepenuhnya menanggung modal usaha dan Mudharib sepenuhnya mengelola dana dengan porsi bagi hasil (nisbah) yang disepakati pada awal akad. Nisbah yang disepakati tidak dalam bentuk nominal, namun dalam bentuk persentase, dapat dengan model pembagian hasil usaha Revenue Sharing (bagi pendapatan) atau Profit/Loss Sharing (bagi untung/rugi). Terdapat dua jenis akad Mudharabah yang digunakan, yaitu

1) Mudharabah Muqayyadah (Investasi Terikat) Akad investasi ketika pihak Shahibul Maal memberikan batasan kepada Mudharib dalam menginvestasikan dananya ke sektor yang ditentukan oleh Shahibul Maal. Dalam hal ini, Mudarib hanya sebagai perantara/agen investasi yang mendapatkan bagian atas jasanya.

2) Mudharabah Mutlaqah (Investasi Tidak Terikat) Akad investasi ketika pihak Shahibul Maal tidak memberikan batasan kepada Mudarib dalam menginvestasikan dananya. Mudarib berhak untuk menggunakan dana Shahibul Maal untuk membiayai invetasi yang dianggap menguntungkan sesuai dengan prinsip Syariah.

Perbankan Syariah dan LKMS lebih banyak mengelola jenis dana yang dikumpulkan dengan Akad Mudharabah Mutlaqah karena mereka leluasa untuk menggunakan dana tersebut untuk memberikan pembiayaan baik yang bersifat produktif maupun konsumtif. Dana yang diperoleh biasanya dari nasabah dalam bentuk tabungan maupun deposito (simpanan berjangka).

Dalam praktiknya, sebagian besar Perbankan Syariah dan LKMS menawarkan tabungan dan deposito Mudharabah Mutlaqah dengan model pembagian hasil usaha yang menggunakan prinsip Revenue Sharing dengan alasan bahwa sebagian besar nasabah belum siap untuk melaksanakan kerja sama investasi dengan prinsip Profit/Loss Sharing. Alasan lain yang sering diungkapkan adalah bahwa Perbankan Syariah/LKMS juga belum memiliki standar dan pedoman yang jelas untuk menjalankan prinsip Profit/Loss Sharing khususnya dalam menentukan biaya-biaya yang dapat dikategorikan sebagai biaya pengelolaan dana Mudharabah.


Komentar